Minggu, 01 November 2009

Masâfah Perjalanan Diri

Kami – Penulis dan belasan orang seangkatan lainnya – boleh dikata sebagai generasi santri yang hidup menuntut ilmu dalam transisi suatu masa, hidup pada akhir masa Ayahanda Mahaguru rahimahullâh, dan berlanjut pada awal masa Ayahanda Khalifah hafidhahullâh. Sebagaimana banyak ditemukan dalam peristiwa sejarah, bahwa generasi yang hidup diantara transisi dua masa tertentu memiliki sisi keunikannya tersendiri, demikian pula halnya dengan kami. Ada banyak peristiwa penting yang harus tercatat rapi dalam buku memoar kehidupan kami, yang hal itu – sangat mungkin sekali – akan menjadi epilog bagi riwayat hidup tokoh yang satu pada masanya, dan sekaligus prolog bagi riwayat hidup tokoh yang lain pada masa selanjutnya.
Diawali dari kisah pengalaman pribadi, dan mungkin juga kisah-kisah pengalaman serupa yang dialami oleh sahabat sengkatan lainnya dalam merasakan kesan spesial bersama Ayahanda Mahaguru rahimahullâh, dari sejak awal mengenal sosoknya, mengidolakan, berjumpa, sampai mendampinginya detik-detik menjelang kewafatan. Dilanjutkan kemudian dengan kisah pengalaman menyaksikan pembai'atan Ayahanda Khalifah hafidhahullâh sebagai pengganti dan penerus sang ayah tercinta.

Kesan Pertama

Kisah ini bermula dari peristiwa besar yang tercatat rapi dalam ingatan pribadi kami, dan mungkin akan menjadi "lipatan pakaian" pengalaman yang tertata indah untuk diabadikan dalam "rak-rak almari" hidup ini.
Untuk sekedar dimaklumi sebelumnya, diantara kami ada yang sejak dalam kandungan telah bertrade-mark Ayahanda Mahaguru, yakni lahir dari pasangan orang tua yang notabene keduanya santri beliau. Namun ada pula yang baru mengenal sosok Abuya ketika menginjak usia remaja, mengenalnya lewat lingkungan yang telah berwarna Ayahanda, atau berguru kepada alumninya . Sejak itulah nama Ayahanda Mahaguru menjadi sangat dekat di hati kami.
Bila mengingat pengalaman pribadi Penulis, kurang lebih tiga puluhan tahun yang silam, ketika suatu hari yang berkah terjadi bagi kehidupan kami sekeluarga, saat ramah tamah sedang berlangsung di kediaman Kakek demi menyambut kedatangan Ayahanda Mahaguru yang kala itu berkunjung ke pesantren kami di Situbondo. Sesosok bayi lelaki mungil – yang baru berusia beberapa minggu – dibawa ke pangkuan yang mulia Ayahanda untuk dimintakan doa barokah, sebagai bentuk pengamalan ajaran agama yang telah mentradisi di kalangan masyarakat santri pada umumnya, agar kelak menjadi generasi yang shalih, berbakti kepada agama dan bangsa, kepada orang tua dan keluarga.
Dari peristiwa bersejarah itulah, perlahan namun pasti, ternyata sentuhan pertama Ayahanda Mahaguru tersebut telah benar-benar menembus kedalaman jiwa Penulis, meresapkan rahasia makna, dan bertambah dalamlah kesan yang diperoleh tatkala Ayahanda berpesan, "Bila anak ini kelak telah dewasa, biarkan ia ada bersama saya!" Demi mendengar langsung pesan ucapan dari Abuya tersebut, Kakek pun segera saja menyetujui permintaan beliau dengan rasa penuh haru dan suka cita.
Kekaguman yang Memekarkan Rindu

Penulis ingat, ketika di masa remaja dahulu potret Ayahanda Mahaguru yang terpampang di dinding kamar telah mengalahkan berbagai poster dari tokoh-tokoh terkenal, artis atau kelompok band yang lagi beken lainnya di masa itu. Di hati dan pikiran kami sosok Ayahanda telah menggantikan keberadaan orang-orang tersebut, mengalahkan dalam ketenaran dan pesona mereka, tidak seperti umumnya remaja lain yang seusia, dan kami merasa bangga dengan hal itu.
Karakter ketokohan, kharisma pribadi, pemikiran, dan manhaj perjuangan Ayahanda yang dibawa dan disebarluaskan oleh para alumni santri dan pecintanya telah benar-benar mewarnai kami, menjadi jiwa bagi hidup kami, yang untuk selanjutnya menumbuhkan rasa kagum dalam diri kami. Dan dari kekaguman yang mendalam inilah kerinduan-kerinduan pun bermunculan satu persatu, rindu ingin menjadi pengikut setianya, rindu ingin menjadi santri sejatinya, atau setidaknya rindu ingin menatap dekat wajah Ayahanda yang memesona, mencium tangannya yang mulia, bahkan bila dapat memeluk erat tubuhnya yang berwibawa, pasti akan kami lakukan penuh suka cita.
Dengan tanpa bermaksud melebih-lebihkan, sungguh, setiap tanah yang dipijak oleh para alumni Ayahanda Mahaguru di persada Nusantara ini sebagai medan perjuangan dakwah mereka, pelan namun pasti, tempat tersebut telah berubah menjadi "serupa" atau setidaknya "mirip" dengan tanah kediaman Ayahanda di Makkah al-Mukarromah. Sebut saja semisal Pujon Malang, Parengan Lamongan, Tambak Madu Surabaya, Koncer Bondowoso, Lenteng Proppo Pamekasan, atau Raci Bangil, semua tempat tersebut telah berubah cita rasa ruhani dan aura keberkahannya menjadi seperti 'Utaibiyah – kediaman pertama Ayahanda – atau Rushaifah yang terletak nun jauh di tanah suci sana.

Konsentrasi Pemikiran

Di hari-hari berikutnya, madrasah demi madrasah, pesantren demi pesantren, ketika itu pun harus kami tempuhi, sebelum akhirnya nanti bersama Ayahanda Mahaguru di Makkah yang penuh berkah, sebagai langkah untuk merentas jalan ke masa depan yang dicita.
Jika ditanya, maka hampir seluruh santri yang berproses berangkat ke Abuya tentu pernah bermukim mondok di Pesantren Luhur "Cahaya Dua Tanah Suci" Pujon Malang. Hal itu karena syarat yang seringkali diberlakukan Ayahanda kepada kandidat muridnya adalah harus tinggal lebih dahulu disana, menunggu sampai ada bisyâroh panggilan dari beliau selanjutnya.
Abi M. Ihya' 'Ulumiddin – demikianlah beliau biasa dipanggil – adalah santri senior dari Ayahanda Mahaguru yang diamanati untuk mengelola pesantren tersebut. Hari-hari semasa kami bersamanya, berkhidmah dan mengaji kepadanya, serasa ruhani Ayahanda ada bersama di setiap kehadirannya, ada di setiap jejak perjuangan dan jalan hidup yang dipilihnya. Maka hadirlah dalam kehidupan kami sosok yang berkharisma nama dan maknanya, jasad dan ruhnya, yang telah menjadi teladan semasa hidup dan panutan ketika mati nanti. Seorang guru yang menjadi penyambung risalah Baginda Nabi, pewaris ilmu dan pendekar aqidah sejati, juga sanad ilmu yang lain dalam mengokohkan keyakinan diri.

Kisah dari Pengalaman Serupa

Pengalaman Penulis dan sebagaimana juga banyak dialami oleh teman seangkatan lainnya ketika berangkat ke Makkah adalah munculnya perasaan tak karuan, haru campur suka, gelisah namun bahagia, semua menyatu padu, dan tak dapat terucapkan oleh kata-kata sekalipun saat itu.
Atau ketika berada di Bandara misalnya, kami biasanya menatap setiap sesuatu dengan tatapan kosong tanpa arti, sampai pada saat mengurus pengambilan boarding pass atau apapun dalam melangkah, selalu saja dihantui oleh rasa gamang. Semua itu adalah gejala kejiwaan yang hampir menjadi "wajib" dirasakan dan dialami oleh kami semua. Batin ini seolah tak tahu manakah yang harus dipikirkan, dan manakah yang harus tak dipikirkan?

Pada umumnya, sesaat setelah kami berada di dalam pesawat, suara mesin yang menderu disertai tekanan menjejak seolah memberitahukan kepada kami bahwa pesawat telah lepas meninggalkan landasan. Ketika melirik ke luar jendela, gumpalan-gumpalan awan putih menyerupai kapuk pun perlahan mulai tampak terlihat sejajar dengan tempat kami duduk. Maka saat-saat seperti itulah batin kami berteriak "Aku benar-benar terbang sekarang!" Demikianlah halnya yang telah Penulis alami ketika itu, sembari meyakinkan diri sendiri, meyakinkan bahwa diri ini telah benar-benar terbang meninggalkan tanah air tercinta.
Ya, saat itu kami benar-benar sedang terbang bersama impian, atau lebih tepatnya sebuah asa yang pelan-pelan bergerak menjadi cita yang diniatkan. Bukankah niat itu qoshd al-syai' muqtarinan bi fi'lihi, dan saat itu kami benar-benar melakukannya. Kami sedang terbang menuju masa depan yang diharapkan, lepas landas tinggalkan masa silam.
Di atas pesawat, tak ada yang lebih setia menemani pikiran demi pikiran yang terus mengalir tanpa mampu terbendungi lagi, kecuali seberkas sinar matahari di ufuk barat yang waktu terbenamnya lebih lambat dari saat kita berada di permukaan bumi. Ketika para pramugari memperagakan cara mengenakan fasilitas keamanan yang tersedia di pesawat, Penulis pun tak begitu konsentrasi memperhatikannya. Saat itu, sekali lagi Penulis benar-benar tak tahu manakah yang harus dipikirkan, dan manakah yang harus tak dipikirkan?

Pertemuan yang Dirindukan

Di suatu pagi yang ceria, di hari yang telah disepakati antara Penulis dan seorang sahabat untuk sama-sama pergi ke Rushaifah, kami pun berangkat kesana. Membayangkan saat perjumpaan nanti dengan maha guru sejati, maha guru murobbi, kekasih para kekasih. Ya, perjumpaan itu beberapa waktu lagi.
Detik-detik berjalan seolah sangat lambat sekali, sedangkan "ombak" itu tak juga reda berdeburan di dalam hati. Ah, waktu itu, kapan tibanya?
Entah, mengapa kaki ini berat dilangkahkan, sedangkan rindu di dada sudah membuncah tak karuan, ketika menaiki satu persatu anak tangga yang mengantarkan ke ruang utama, memasuki pintu yang menghubungkan ke ruang cahaya, berorama mawar dan gaharu yang mahal harganya. Ruang yang berkah itu disebut dengan ruang "Mâ Syâ Allâh". Entah, mungkin karena di atas pintu masuk terdapat pigura bertuliskan lafadz tersebut, ataukah ada makna lain yang menyimpan rahasia. Ada bias aura di dalam sana, Penulis merasakan itu, ya sangat kuat diri ini sekali merasakannya...
"Assalâmu'alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh!"
Di depan pintu kamar, dengan suara bergetar Penulis memberanikan diri mengucapkannya. Ada suara khas berwibawa menjawab dari dalam, sangat berwibawa, namun terdengar begitu ramah. Penulis kikuk sambil mencari-cari asal suara tersebut, dan ternyata sosok berpakaian serba putih, berwajah tampan, berpostur besar, duduk di sebuah kursi berbalut kain serba hijau tua. Pandangannya menatap lekat ke arah Penulis.
Ah, pandangan itu, pandangan memesona yang telah diri ini rindukan bertahun-tahun silam, pandangan kekasih yang telah sekian lama terimpikan. Ayahanda…
"Guru sejatiku, ajaranmu adalah denyut nadiku. Ketika aku melamarmu dengan kebodohanku, engkau menerimaku dengan kepandaianmu. Ketika aku melamarmu dengan kerendahanku, engkau menerimaku dengan kemuliaanmu. Dan ketika aku melamarmu dengan kerinduanku, engkau menerimaku dengan seribu cintamu. Guru sejatiku ajari aku tentang makna nafasmu agar hidupku berharga sepertimu. Engkau memelukku, aku dekat merapat kepadamu, engkau memangku kepalaku. Aku memasrahkan niat ke haribaanmu, lalu engkau membelai lembut janggutku, aku pun menatap mesra bersih wajahmu. Guru sejatiku, ajari aku mencinta dan dicinta. Tanganmu menggenggam erat tanganku, aku pun membalasnya dengan senyumku. Guru sejatiku, sungguh, ajarilah aku!"



Subhânallâh

Sungguh tak terbayangkan. Tak pantas rasanya Penulis yang kotor ini duduk berlutut di hadapannya, dan tiba-tiba tangannya yang mulia membimbing Penulis untuk lebih dekat lagi dengannya, lalu memeluk, mendekap erat tubuh yang hina ini, dan membiarkan kepala pecintanya ini berada di atas pangkuannya yang mulia, menciumi tubuhnya yang semerbak mewangi, menebarkan tidak hanya sekedar aroma lahiri, namun juga maknawi.
Ayahanda Mahaguru Muhammad Alawi al-Mâlikî… sosok yang sangat dirindu, seorang kekasih sejati, kekasih Allah Rabb al-'Izzati, yang diyakini sebagai wali terbesar dan mujtahid yang hadir di kurun ini. Sungguh tak berlebihan bila kami para pecintanya mencintai dengan sepenuh hati, karena hakikat wujudnya adalah bendera Allah yang mengibarkan syiar agama-Nya yang suci.



Hari-hari terakhir Bersama Ayahanda

Mentari pagi hangat menciumi bumi, langit Makkah begitu bersih, kicau nyanyian burung-burung Rushaifah terdengar merdu menyambut hari berganti, dan bunga-bunga berwarna ceria pun bermekaran di taman hati. Sejak ketika itulah tanah pasir bernama Rushaifah, rumah perkampungan yang menawarkan kedamaian bagi jiwa nan lelah, setiap nafas menjadi lebih berarti, seperti kata demi kata yang terangkai dalam sebuah puisi.
"Qul, katakan dengan kalimat benar, yang dirangkai dari kata-kata pilihan, pada deretan huruf-huruf indah, dan suarakan dengan bersih, dengan semangat membakar. Hâdzihi, inilah, tepat disini, di dalam hati, di detak jantung, di denyut nadi, dialirkan pikiran, diolah jiwa, digerakkan badan. Sabîlî, jalanku ini, pilihan hari-hari yang lahir dari rahim musim berganti, dalam pergantian waktu, dalam perubahan sejarah, bergerak seperti tulisan yang mencatat keyakinan, melangkahi setiap keraguan."

Inilah hari-hari saatnya tanamkan biji maknawi dalam kehidupan kami, untuk menjadi akar, tunas, batang, dahan, ranting dan daun, hingga menjadi buah yang memberkahi. Bila suatu saat nanti menjadi kering menguning, jatuh berguguran ke bumi, maka yang tersisa hanyalah biji maknawi untuk ditanam kembali.
Ketika menjadi akar, itu berarti saatnya menyerap air jernih ketulusan, agar meresap ke dalam jiwa makna bening setiap hasrat tujuan. Ketika menjadi tunas, itu berarti saatnya menghirup udara bersih kesadaran, agar tersimpan seluruh tekad semangat di balik makna kesungguhan. Ketika batang, itu berarti saatnya tegakkan pokok kesejatian, agar serat-serat diri kokoh menjelma sebagai makna pendirian. Ketika dahan, itu berarti saatnya ranting-ranting upaya dibentangkan, agar tumbuh lebat makna pengetahuan. Ketika ranting, itu berarti saatnya teguh kebersamaan direntangkan, agar daun-daun kasih sayang rimbun merambat pada makna pertumbuhan. Ketika daun, itu berarti saatnya adil dan bijak disuburkan, agar harkat dan martabat menjadi makna keteduhan. Dan ketika menjadi buah, itulah saatnya rela berkorban, agar makna hidup lezat dirasakan. Bila suatu saat nanti semua menjadi kering, jatuh berguguran ke tanah, maka sekali lagi yang tersisa hanyalah biji maknawi untuk ditanam kembali.
Hari-hari yang terajut indah bersama Ayahanda benar-benar melenakan kami dalam keterpesonaan di taman ruhani. Degup jantung, hembus nafas dan hembusannya seolah tasbih, tahmid, dan takbir kepada Ilahi. Majelis dzikir dan ilmu telah berpadu dalam asuhan seorang murobbi ruhani.
"Bersahabat dengan ayat-ayat cinta, yang setiap hurufnya memancarkan cahaya, ketika dinding-dinding waktu membacakan kembali kisah Hira' iqra' bismi rabbik alladzî khalaq. Maka dengarkanlah di setiap ruang sejarah, ayatnya yang menggetarkan dada, membuat denyut baru di aliran semangat menggelora. Bacalah, sampai ke relung terdalam jiwa yang tak pernah terduga, agar berganti menjadi hijrah kata dan makna."
Namun, ketika itu kami menjadi tak sadar bahwa Allah Swt. pelan-pelan telah mengirimkan isyarat-Nya, bahwa sang kekasih tercinta bernama Muhammad Alawi al-Mâlikî akan segera menemui-Nya di perjumpaan agung sebentar lagi. Perjumpaan agung itu bernama kematian.
Dan di malam yang penuh berkah itu, di bulan yang rahmatnya melimpah, Ayahanda Muhammad pun telah benar-benar menjumpai Sang Maha Kekasih Tercinta, Rafîq al-A'lâ.
Makkah bersedih, umat Islam bersedih, bahkan semesta pun bersedih, ketika ribuan pentakziah mengiringi jenazah sang imam ke pekuburan al-Ma'lâ yang mulia. Dan ketika itu pula tubuh kami, tangan dan kaki kami seolah tak terasa dapat digerakkan, pikiran kami, perasaan kami tergoncang, sedih yang tak tergambarkan, bergelimpangan di kecamuk batin yang tak lagi tertahankan.

Pembai'atan Sang Khalifah

Kami sadar bahwa perjuangan belum berakhir, bahkan mungkin episode baru akan segera dimulai. Kami tak boleh kalah dengan kesedihan, meski itu sebenarnya kesedihan yang terjaga dalam kefitrian, berduka cita menangisi wafatnya seorang 'âlim 'allâmah abad ini.
Demi menyadari hal yang demikian, maka pasca wafatnya Ayahanda Mahaguru Muhammad al-Mâlikî rahimahullâh, kami semua harus tegar, karena sebentar lagi ketika bulan Syawal menjelang, halaman rumah kediaman keluarga besar al-Mâlikî pun akan segera ramai oleh ribuan umat yang datang hendak berbai'at kepada khalifah sang imam. Seorang pemuda cendekia, khairu khalaf li khairi salaf, Ayahanda Khalifah Ahmad Muhammad al-Mâlikî, demi meneruskan perjuangan yang tak boleh henti.
Di masa penempaan semacam inilah besi semangat berkali-kali teruji oleh panasnya api permasalahan, kobaran emosi, gejolak batin, dan konflik intelektualitas. Teruji untuk selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang membingungkan, namun tetap berada dalam bimbingan cahaya kebenaran.
Adapun resep obat terbaik yang mampu mengatasi kegelisahan dan kecemasan diri ketika itu adalah nasehat seorang guru yang mengatakan, "Jadikanlah setiap permasalahan itu sebagai dzikir mengingat Tuhan!" Setiap menelannya, rasa sakit dalam batin ini pun reda seketika.
Karena bila kita renungkan sekali lagi, benarlah sesungguhnya setiap permasalahan yang datang silih berganti, tak ubahnya biji tasbih yang harus kita putar sampai selesai di hitungan ke sekian… dan ketika berhenti di suatu waktu nanti itu artinya kita telah menyelesaikan satu bagian untuk beralih ke bagian yang lain, atau setelah itu berarti mati…
Kami sangat menyadari diri kami sendiri sebagai orang-orang yang telah mengaku muslim, artinya kami adalah orang-orang yang mengaku telah memasrahkan diri dan jalan hidupnya kepada Allah, kepada kehendak-Nya, dan kepada aturan yang telah disyariatkan-Nya. Sudah seharusnya kita hidup di dunia ini memasrahkan diri kepada Allah. Karena apabila direnungkan secara utuh dan mendalam, ternyata hidup kita, nafas kita, tubuh kita, dan seluruh yang ada di alam semesta adalah karunia dari-Nya semata.

"Hidup adakalanya untuk memasrahkan hasrat pada ruang dan waktu, seperti terjebak saja pada jendela dan pintu. Kepada warna buram di dinding, akal jadi mengharap segala bayangan, tak membekaskan rasa haru biru. Dan kepada temaram sinar lampu, rasa mengharap tak terperangkap beku. Tak ada kebisingan kecuali gelisah, gemuruh di suatu dimensi usia, di nafas yang tak boleh kalah, untuk bertahan di titik semangat yang nyala, jangan sampai padam oleh sesuatu yang tak pernah terduga. Bismillâh, maka bersemangatlah!"
Kini, setelah hari demi hari merubah purnama, dan purnama demi purnama merubah tahun, dan tahun demi tahun terus bergulir di halaman usia, seluruh episode itu telah tinggal sebagai kenangan di dalam ingatan kami semua, yang menyisakan semangat untuk tetap bertahan, karena masâfah perjuangan ini rasanya masih panjang. ya, perjuangan ini masih panjang dan belum berakhir!